Kadang
aku terdiam, tidak dapat berbuat apa-apa. Hatiku seakan pasrah saja dengan
derita yang aku alami ini. Meskipun aku tahu, pasti ada jalan keluarnya dan
senantiasa ada seseorang yang mendukung aku. Tetapi aku sudah terlalu capek
dengan semua yang terjadi pada diriku selama ini. Dia yang mendukungku adalah
yang pernah ku benci.
XXX
Hari
ini, tepat setahun aku berada di kota dan sekolah ini. Selama setahun di sini,
aku menapaki hidupku dengan perlahan-lahan. Menikmati segala kenyamanan yang
diberikan mereka. Menyumbangkan senyum, canda, juga tawaku. Tetapi tetap saja,
aku susah banget untuk move on. Mengubur
dalam-dalam kenangan yang mungkin hanya aku sendiri yang mengarsipkannya
sebagai kenangan.
Lama
sebelum aku di sini. Aku merupakan murid SD yang kucel tapi ceria. Dan sewaktu
menjelang kelulusan, aku dipertemukan dengan seseorang yang membuat aku sangat
ingin mengenal dia lebih dekat.
"Ui!”
panggilnya padaku. Aku hanya
tersenyum ke arahnya dan mempercepat kayuhan sepedaku.
“Siput!
Tri! Tunggu, dong!” panggilnya yang mulai ketinggalan jauh dariku.
Aku
sama sekali tidak menghiraukannya. Aku terus mengayuh sepedaku hingga suasana
menjadi hening. Entah apa yang menggerakkan leherku ke segala penjuru untuk
mencari sesuatu. Aku berharap dia yang tadi menegurku kembali ada di sini.
Tetapi tidak, dia benar-benar tertinggal jauh dan tidak mengejarku.
“Putri!”
aku segera menoleh ke sumber panggilan itu. Aku salah, itu bukan dia. Tentu
saja, dia memanggil aku dengan ‘siput’ bukan ‘Putri’.
“Ada
apa, Ndi?” tanyaku santai.
“Ko nampak si Ruba ga? Dia tiba-tiba aja
ngilang,”
“Mana
aku tahu, emang aku maminya?” ucapku sangat ketus.
“Putri,
itu kan pacar ko. Jadi ko musti tau dong dia di mana,” ucapnya
sambil cekikikan.
“Ih,
enak aja. Dia fans aku tahu,” jawabku santai, ikut cekikikan.
“Ini
dia Siput, main ninggalin aja,” tiba-tiba saja dia muncul di antara kami.
“Cie,
nyarinya Putri doang. Aku kek gitu yang dicariin,” ledek Andi dibarengi
cekikikannya.
“Jangan
cemburu, dong! Siput tidak aku apa-apakan kok,”
“Kalian
ngomong apa, sih?” aku mengganggu pembicaraan mereka.
“Hahaha,
Ruba itu suka sama ko, Put,” kata
Andi yang membuatku kaget, sedikit menaikkan alisku dengan tatapan sinis.
“Apaan
sih, Ndi? Kita ini masih kecil, mana ada suka-sukaan. Sudah sudah, ke Masjid,
yuk! Entar telat ikut ngaji lagi,” ajak Ruba sambil mengayuh sepedanya.
“Beneran,
deh. Ruba suka sama ko, Put,” bisik
Andi kepadaku. Aku tidak menghiraukannya, dan mengayuh sepeda menyusul ‘DIA’.
XXX
Masa
kecilku dulu sangat bahagia. Mulai dari nolongin teman sampai ditolongin.
Ngusilin teman sampai diusilin. Ngeledekin sampai diledekin. Semuanya aku jalani
dengan santaai dan penuh ceria. Dan itu membuatku tersenyum sendiri mengingat
kejadian-kejadian indah itu.
Sekarang,
aku sudah SMP dan pindah dari tempat yang sarat akan kenangan aku dahulu.
Tetapi selama di sini, aku jadi teringat dengan si Ruba-cowok tengil yang
seperti tidak memiliki baju kurung lain selain baju merah yang selalu dia pakai
sewaktu mengaji. Dan seperti tidak mempunyai celana jeans, sehingga sewaktu dia memakai celana jeans, dia terlihat sangat keren. Satu hal yang penting, aku divonis
sama teman-teman sebagai pacarnya dia.
“Aduh,
kenapa gue teringat sama mereka? Ayolah Putri, move on please,”
Sejak
kepindahanku setahun yang lalu, aku baru menyadari kalau aku beneran suka sama
Ruba. Atau mungkin sudah lama aku menyukainya? Entah karena tingkahnya atau apa
pun itu. Padahal setelah dipikir-pikir, dia bukanlah seseorang yang guanteng, tajir, pinter. Aku saja bingung,
kelebihannya apa? Tetapi entah mengapa aku merasa aku suka sama dia. Dialah
cinta pertamaku. Ditambah lagi aku harus menerima kenyataan kalau sekarang kami
menjadi sangat jauh.
“Ups,
ngomong apa sih, Put? Fine, kamu mau move
on, kan? Forget him!”
“Put,
lo ngapa?”
“Eh,
ngg ga ada apa-apa kok. Kantin, yuk! Laper, nih!” aku sedikit kaget melihat Ica
sudah di depanku dengan tampang layaknya orang bego.
Tanpa
menunggu jawaban dari Ica, aku langsung menarik tangannya menuju kantin. Selama
perjalanan kakiku ke kantin, fikiranku tetap berjalan mundur ke masa lalu yang
begitu indah dan sayang untuk dilupakan.
“Gimana?
Setuju kan, Put?”
“Ngg,
setuju. Setuju banget,” jujur, dari tadi ternyata Ica membicarakan misinya
kepadaku. Tetapi aku tidak mendengarkan sama sekali.
XXX
“Jadi
gini, entar kita ke rumah kawan gue itu. Terus lo bakal gue kenalin sama dia.
Pokoknya lo pasti suka, deh. Proses pencomblangan ini bakal sukses banget kalau
gue yang ngurus. Gimana?” aku hampir akan menyemprotkan isi mulutku yang penuh
dengan mie, kuah, ayam, sayur, pokoknya semua deh.
“Ma…
maksud lo?” aku menatap Ica seolah big
problem happened.
“Hello!
Anda Putri, kan? Lo gimana, sih, Put? Gue tadi tu cerita mau nyomblangin lo
dengan kawan gue. Kemana aja, sih?” Ica seakan ingin memakan sendok saking
kesalnya denganku.
“Ogah
ah, Ca,”
“Apa?
Ogah?” tanya Ica histeris banget. “Lihat lo tu sekarang gimana, Put? Yang
seusia kita gini rata-rata udah pada pernah pacaran, walaupun semenit doang.
Nah lo, kayak ga laku gitu. Padahal lo tu cantik, Put,”
“Dasar
bawel! Lihat noh si Fitri, Anya, Chika, Iyem, dan masih banyak lagi yang belum
pacaran. Fine fine aja pun hidupnya.
Lagi pun, gue merasa masih kecil, Ca. Males ah pacaran, ga ada waktu tahu!”
balasku pada Ica.
“Eh,
lo tu bukan tipe mereka. Banyak cowok yang mau ngedeketin lo. Oke, lo ngelayan
mereka. Tapi ujung-ujungnya lo tolak mereka semua. Come on, tuan Putri,”
“Ogah!”
“Ada
alasan lain? Gue tau gue belum lama kenal sama lo. Tapi, sifat lo yang satu ini
yang juga buat gue penasaran, Put. Tell
me, Please?”
“Gue
belum bisa move on dari dia, Ca. Terlalu
berat buat melupakan tentang dia dan aksi lucunya. Mungkin itu alasan utama
gue.” Aku mengambil nafas sedikit. “Maafin gue ya, Ca?”
Suasana
hening sejenak. Ica terpaku dengan makanannya, tidak ingin memperpanjang
perdebatan. Ditambah lagi masalah baru yang dia sama sekali tidak tahu. Karena
memang untuk yang satu ini, aku benar-benar ingin move on dan tak ingin berbagi dengan siapa pun.
“Woi!”
“Astaghfirullah.
Lo ngapa, Kim?” Comment-ku pada Hakim
yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di sampingku.
“Angau dia tu. Mau kawin mungkin.
Hahaha,” sambung Ica.
“Ha?
Emang ada yang mau sama dia?” tanyaku menyepelekannya.
“Jangan
salah, gue udah punya 12 mantan, Bro. Beda banget sama lo yang ga laku-laku.
Hahaha,” ledek Hakim sambil menunjuk ke arahku.
“Teyus?
Penting gitu?” balasku.
“Eh,
tapi ga, sih. Pacar lo ada di kelas tuh!” ucap Hakim tanpa bersalah.
“Hah?
Pacar Putri?” Ica hampir tersedak dengan perkataan Hakim tadi.
“Siapa
pacar gue, Kim?” tanyaku dengan nada datar banget.
“Pangeran
lo yang ceking itu,” aku lagi lagi hampir mau menyemburkan isi mulutku untuk
yang kedua kalinya. Aku paham betul siapa yang dimaksud Hakim.
“Cowok
ceking sok keren dan sok cool itu?
Sejak kapan gue jadi sama dia? Gila aja, malesin banget,” sahutku manyun.
“Alah,
jangan bohong deh, Put. Gue lihat sendiri dia tu perhatiin lo aja terus,”
“Loh?
Kalau gitu dia dong yang suka sama gue. Kok malah gue yang divonis pacaran sama
dia? Ogah banget!” jawabku lancar banget.
“Tapi,
Put. Orangnya lumayan, sih,” Ica mulai membuka mulut.
“Ah,
gila lo. Kalian berdua emang sama aja. Gue kawinin kalian entar kalau ngebahas
ini lagi,”
Aku berlalu dari mereka semua
menuju kelas. Menaiki tangga sekolah dan sampai di depan pintu kelas
bertuliskan VIII 1. Sewaktu aku melangkah masuk, aku baru menyadari kelas itu
hanya ada aku dan pacar jadi-jadian ku. Gila!
XXX
Mulai hari ini aku memutuskan
untuk melupakan dia. Teman kecilku itu kini hanya tinggal kenangan. Lucu
sebenarnya mengingat aku yang masih sangat kecil tapi mengaku menyukai
seseorang. Gila!
Tetapi nampaknya teman-temanku
tidak merasa aneh dengan usia dan hubungan mereka. Mereka bahkan sudah beberapa
kali pacaran tapi bukan berarti itu cinta atau ada rasa. Mereka hanya memandang
pacaran sebagai status serta pangkat, dimana orang dengan jumlah pacar lebih
banyak adalah yang paling mulia. Konyol! Mereka masih kecil dan tidak tahu apa
fungsi serta manfaat pacaran sesungguhnya.
XXX
“Hai!” ada seseorang di depanku
saat ini. Yang secara tidak langsung membuat macet pemikiranku seketika.
“Sendiri aja?” aku hanya
tersenyum. Malas berbicara dengan dia yang divonis berpacaran denganku.
Dia berbalik arah ke depan dan
menuju kursinya yang berjarak 10 langkah dariku. Nampaknya aku berhasil
membuatnya bete dan tidak mengobrol denganku lagi. Oh, syukurlah.
Terhitung sudah setengah tahun
aku divonis pacaran sama dia. Ya, cukup langgeng. Tetapi dia seakan menganggap
semua itu adalah suatu masalah dan membuat dia juga jaga jarak sama aku. Dan
aku sih biasa saja sama dia. Sama dengan teman-teman yang lain.
Perlakuan dia kepadaku beda dari
yang lain. Dia juga jarang ngobrol atau menegur aku. Cuma kalau keadaan lagi
sepi gini aja. Aneh banget itu orang. Hah, pantas saja vonis itu bertahan langgeng
banget. Jadi risih me-respect-nya.
Dan saat ini sudah hampir satu sekolah mengetahuinya. Gila!
Tiba-tiba saja mataku menangkap
sosok orang di depan pintu. Temanku yang satu itu cakep pakai banget, baik
juga, pinter, bercanda juga pandai. Yang aku tahu, dia ngefans banget sama Ben
10 yang nomor 5. Dan aku sukanya sama yang nomor 4, kalau tidak salah dia
bilang itu namanya XLR-8. Dia cukup kekanak-kanakan, pendiam. Tetapi sekali
diajak ngobrol, joke dari dia banyak
banget. Dia juga anak mami banget. Satu yang perlu kalian tahu, setiap diantar
dan dijemput mamanya, dia selalu cipika-cipiki gitu. EOH!
“Put!” panggil dia yang ternyata
telah duduk di kursinya tepat di depanku.
“Iya,” jawabku pelan.
“Kamu sudah belajar agama untuk
ulangan?” oh ya, satu lagi ciri khas dia. Beda dari temanku yang lain, dia
sering memanggil lawan bicaranya dengan kata ‘kamu’ dan memanggil dirinya
dengan ‘saya’. Aku rada ga nyaman sih awalnya. Tetapi lama bergaul sama dia,
itu semua jadi terbiasa aja. Dan aku juga harus terbiasa ngobrol ‘saya-kamu’ ke
dia. Fine. Cukup tau.
“Ha? Ulangan ya? Yang mana?”
tanyaku sedikit terkejut.
“Yang ini,” tunjuknya pada
halaman bertuliskan ‘Bab 5’.
“Astaghfirullah, saya lupa! Nanti
bantu-bantu ya, Jul. Saya tidak ada belajar,” pintaku padanya.
“Males ah! Semalam saya minta
tip-x aja ga dikasi. Dan sekarang, saya malas mau bantu kamu,” jawabnya dan
berbalik arah membelakangi aku.
“Apalah Jul, kan waktu itu sedang
ngerjain tugas Bu Yet. Saya tidak merasa kamu pinjam, Jul. Masa’ gitu aja marah
sih. Maaflah,” rayuku padanya yang sama sekali tidak menghiraukanku.
“Jul,” Aku kembali memanggilnya
sambil menggoyangkan kursinya. Tentu saja dia tidak menghiraukanku. Malah dia
menutup telinganya seakan benar–benar tidak ingin mendengarkan perkataanku.
“Dasar cowok aneh, cuma gara-gara
tip-x aja sampai marah banget. Ah, gue rasa dia cuma main-main marahnya. Dia
memang sering seperti itu,” gumamku.
Akhirnya aku mencari buku Agama
dan membacanya. Membuka lembar demi lembar dengan semangat ’45. Aku ingin
membuktikan pada Jul, bahwa aku juga bisa meski tanpa bantuan dia. Huh! Dasar
cowok sensitif!
Kring…
Jam pelajaran agama resmi
dimulai. Seperti biasa, aku dan Ica segera menempati kursi kosong di depan Jul
dan Hakim. Karena tadinya kursi itu ditempati teman kami yang non-muslim.
Sambil menunggu Bu Endang masuk, aku dan Ica menjalankan tradisi kami. Saling
menguji kemampuan dengan memberikan soal-soal lisan.
Sesekali aku melirik Jul di
belakang, dia sangat serius menghafal. Akhirnya dia memergoki aku melirik ke
arahnya. Sontak aku hanya tersenyum. Tetapi dia memasang wajah masam.
Ada apa dengan dia? Tidak seperti
biasanya yang sangat tidak peduli dengan apa pun. Dan sekarang, tip-x menjadi
alasan betapa bencinya dia kepadaku.
“Jul,” aku memanggilnya sambil
tersenyum. Tetapi dia melirikku pun tidak.
“Faijul,” aku memanggilnya lagi.
Tetap tidak ada respon.
“Mau pinjam tip-x?” tawarku ga
nyambung.
“Ciee, Putri! Dah putus sama
Tama, ya? Sekarang ngincar si Jul. Ciee..” teriakan butet satu itu membuat
seisi ruangan menatapku sebagai tersangka.
‘Oh my God! Tu orang, rem
mulutnya udah blong, ya? Nyebelin banget!” keluhku dalam hati.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumus salam,” jawab Tama
dengan lantang ketika Bu Endang memasuki ruangan.
Nampaknya dia tidak mau kasus
dengan tersangka aku dan yang melaporkan butet ini berlarut. Dia
menyelamatkanku? Jangan-jangan …
XXX
Hal yang sudah membudidaya di
kalangan warga SMP-ku, barang siapa yang berada di dalam kelas sewaktu jam
istirahat tiba, manusia tersebut adalah orang-orang dengan volume otak yang
lebih dari manusia di sekitarnya. Dan takjubnya, hal ini aku lakukan sekarang.
Dan sekarang hanya ada aku, kamu,
dan dia. Alay beud! Ada aku, Jul, dan ‘pacar’ku. Oh my God! Kenapa harus si Tama yang divonis berpacaran denganku?
Mengapa tidak Jul saja? Emang sih, kadang illfeel
melihat tradisinya setiap bertemu mami tercintanya. Tetapi jika dibandingin
dengan semua yang ada pada dirinya, tradisi itu hanya bagian kecil dari langit
yang tertutup oleh awan pesonanya. Dia sungguh indah.
“Apa aku suka sama dia?”
Aku langsung menutup mulutku.
Kata-kata itu meluncur dengan sangat lancar dari mulutku. Tentu saja hal itu
memancing dua cowok yang masih waras itu melirik ke arahku. Aku hanya tersenyum
kepada mereka dan tertunduk sok sibuk membuka buku IPA. Setelah keadaan aman,
aku mengangkat wajah dan menepuk-nepuk mulutku beberapa kali.
Akhirnya aku beranjak dari tempat
dudukku menuju kursi Hakim sambil membawa tip-x. Jul di samping memandang ke
arahku dengan muka aneh banget.
“Mau pinjam tip-x?” tawarku
dengan senyum. Dia hanya terdiam.
“Lagi ngapain sih, Jul?” tanyaku
mencairkan suasana.
“Nih,” jawabnya singkat
menyodorkan secarik kertas yang tadi dia orat-oret.
“Wow, bagus banget! Kamu yang
buat, Jul?” tanyaku padanya setelah mendapati tokoh cartoon Ben10 kesukaanku di
kertas tersebut.
“Iya, kamu suka, kan?”
“Suka banget. Kamu pandai banget
gambar-gambar gini,”
“Ya sudah, ini untuk kamu saja,”
katanya yang kini tersenyum kepadaku.
“Tidak lah. Kamu saja masih marah
dengan saya,” ucapku sedikit manyum dan mengembalikan kertas tersebut kepada
Jul.
Dia diam sejenak tanpa berbuat
apa-apa. Bahkan sodoran kertasku tidak dihiraukannya. Di saat yang sama, ‘pacar
jadi-jadian’-ku menggeser kursi dengan keras dan keluar dari kelas,
meninggalkan aku dan Jul di sana. Aku sedikit aneh dengan perlakuannya itu.
Penting
ya pakai geserin kursi kuat-kuat. Terus pakai acara keluar segala.
“Put,” panggil Jul kepadaku yang
sedari tadi memikirkan ‘pacar’ku. Hah, bukan. Dia Tama, kawanku si calon ketos
yang diisu-isukan.
“Iya, ngapa Jul?” tanyaku sembari
memalingkan wajahku ke arahnya.
“Nih! Untuk kamu,” kali ini dia menyodorkan
kertas lagi. Dan kertas tersebut bergambar tokoh Ben 10 idolanya. Aku hanya memandangnya
heran. “Dua-duanya untuk kamu, Put. Tapi kalau ga suka, ga diterima juga ga
apa,”
“Kamu… masih marah sama saya soal
ini?” akhirnya aku berbicara sambil menunjukkan tip-x di tanganku.
“Hahaha..”
“Lho, kok ketawa?”
“Saya ga marah kok. Kasian ya, yang
dicuekin. Hahaha, maaf ya. Tapi saya puas banget ngerjain kamu,”
“Ih, ternyata cuma ngerjain toh,”
jawabku manyun dan berdiri akan melangkah keluar kelas.
“Eh Put, mau ke mana?”
“Kantin,”
“Tunggu!”
“Hah, kamu mau ke kantin juga?”
tanyaku benar-benar merasa aneh. Selama sekolah di sini, dia hampir tidak
pernah ke kantin. Sumpah deh!
“Bukan. Nih, simpan,” jawabnya
dan menyodorkan kertas bergambar tadi.
“Tidak lah, Jul. Aku buru-buru,
nih. Laper, daaa,” pamitku mengakhiri obrolan kami.
‘Andai Jul itu kamu, Ruba,’
XXX
Hari Jum’at ini, aku dan ibuku
sengaja singgah di toko ikan yang jauh dari rumah kami. Jelas kami mau belanja.
Di sini semuanya murah banget. Lebih murah dari pasar juga. Di sini juga
lengkap, semuanya ada. Eh, ga semua sih. Barang-barang elektronik ga dijual di
sini. Lagi pun barang elektronik yang ada cuma kulkas usang.
Aku sengaja menunggu saja di
motor, sedangkan Ibu sibuk memilih-milih barang yang akan dibeli. Aku memandang
jalanan yang begitu ramai, sedang sangat sibuk mengejar waktu sholat Jum’at.
Tak lama, ada seseorang berbaju kurung biru datang menggunakan motor. Dia
memarkirkan motornya tepat di sebelah motor ibuku. Aku tidak begitu
menghiraukan kedatangannya. Namun, kedatangannya sangat menggangguku karena
asap rokoknya. Menyebalkan!
Setelah sempurna memakirkan
motor, dia beranjak membeli sesuatu di toko tersebut. Badannya yang tinggi dan
kurus serta gayanya yang urak-urakan mengingatkanku pada teman masa kecilku,
Ruba. Dari postur tubuhnya, lelaki perokok itu sangat mirip dengan Ruba meski
aku hanya melihat punggungnya. Tetapi segera kulupakan fikiran itu. Tidak baik
untuk senantiasa mengingat yang telah lalu. Ntar kita jadi semakin terpuruk.
Mataku tidak bisa berhenti
melihat gerak-geriknya. Sekilas aku menjadi penasaran, siapa dia? Dan anehnya,
jantungku berdegup kencang. Apa itu benar Ruba? Tidak tidak, dia ga merokok.
Ups salah, aku yang tidak tahu, apakah dia perokok atau tidak? Tetapi kalau
benar?
“Ayo, naik Put. Kita pulang
lagi,” ajak Ibuku, tetapi mataku masih tertuju padanya yang sampai sekarang
tidak membalikkan badannya. Sambil menaiki motor, mataku masih
memperhatikannya. Berharap dia menunjukkan wajahnya.
Dan saat Ibuku memutar gas.
“Astaghfirullah hal azim, Ruba?”
Dan benar, itu Ruba, my first love.
XXX
Aku simpulkan, kalau Ruba memang
cinta pertamaku dan Jul adalah cinta kedua ku. Tetapi mereka tak dapat aku
miliki sepenuhnya. Bahkan, aku sudah memutuskan untuk jauh-jauh dari kehidupan
Ruba. Dan jaga jarak dengan Jul. Karena, aku sudah punya seseorang yang
senantiasa ada untukku, menghiasi hari-hariku dan sangat membuatku bahagia.
“Selamat ulang tahun ya, Sayang. Happy sweet seventeen. Semoga kamu sehat
selalu. Tambah cantik ya. Jangan tambah manja, ntar repot lagi mamamu
ngurusnya,” katanya kepadaku setelah aku meniupkan lilin di atas kue yang
dipegangnya.
“Hu, enak aja kamu. Tetapi, makasih
ya atas semuanya. Terima kasih sudah mau jadi orang yang senantiasa ada
untukku. Dan maaf, kalau selama ini aku membuatmu jengkel karena sebelumnya aku
benci sama kamu dan vonis dari teman-teman kalau kita ini pacaran,” jelasku
padanya.
“Sekarang kamu masih benci sama
aku?” Tanyanya.
Aku menggeleng, “I Love You, Tama. Thank you so much,”
“Love you too, my princess”
XXX
First
love,
kata orang adalah perasaan cinta yang dirasakan pertama sekali kepada lawan
jenisnya. Ada yang bilang juga kalau first
love itu ga akan bisa terlupakan. Meski ga ada kenangan, tetapi berkat dia
lah kita bisa merasakan indahnya mencintai walau harus tidak dicintai. Dan first love ga semuanya berawal dengan
tawa dan sering berakhir dengan duka. First
love juga tak terduga, tak disangka, dan tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan.
Second
love,
tak disangka juga datangnya. Karena sudah punya rasa dengan first love, jadi second love hanya dianggap
sebagai rasa kagum. Apalagi jika second
love-mu adalah orang yang so perfect,
mungkin kamu hanya berfikir kagum untuknya. Tetapi tanpa disadari, rasa kagum
itu melonjak tinggi. Hingga senang bukan kepalang jikalau si dia dekat
denganmu. Mencintainya rasanya ga mungkin karena masih ada rasa dengan first love, tetapi kenyataan berkata
lain, ada dua cinta dalam satu hati.
Third
love,
aku bingung mendefinisikannya. Karena setiap orang pasti memiliki cerita mereka
masing-masing. Tetapi third love-ku
tak disangka dan tiada pernah terduga. Mungkin benar kata pepatah dulu, ‘Jangan
terlalu benci, nanti jadinya benar-benar cinta’. Itu yang ku alami, menyukainya,
menyayanginya, dan mencintainya. Perasaan bahagiaku bersamanya terjalin sangat
lama dibanding first and second love.